Kedangkalan akalku tak mampu mencernamu Hanya saja aku tahu dirimu Ketajaman rasaku dapat mengenalmu Hingga kau tak asing bagiku Sering kali kau datang dengan wujud beda Sadar ataupun mimpi kaupun datang tanpa diminta Aku ingin kamu

Senin, 06 April 2009

SARIMIN MINTA SEKOLAH

Bungkam, bukanlah diam. Bungkam, ingin meledak. Bahkan sebuah rumah yang kita sepikan di pojok itu menyimpan lidah api. Akan membakar rerumputan kering di suatu saat, tak terkira.
“Sekolah, hanya bikin orang malas dan rakus, jahat juga suka menipu. Lihat saja, anak-anak muda di dekat pasar itu ! kerjanya hanya menggoda perempuan kalau tidak mabuk-mabukan lalu memalak kuda-kuda. Ingat kau, sawah kita yang sekarang berdiri kantor desa dulunya? orang-orang sekolahan itu bilang untuk kesejahteraan kampung kita. Tapi apa? Tempat untuk mengumpulkan upeti dari rumah kita sendiri.”
“Apa itu berarti sekolah yang membuat mereka seperti itu dan karenanya anak kita tak boleh sekolah? “
“Jangan bilang mereka itu tak sekolah sepertiku, aku kenal mereka seperti semua orang-orang di kampung ini juga mengenali kebodohanku”
“Aku pernah sekolah di SD, tapi aku tak seperti mereka?”
“Kubilang tidak, sii Olan tetap tak boleh sekolah. Mereka bukan saja sudah sekolah di SD, bahkan lebih tinggi dan paling tinggi. Kau tidak seperti mereka karena kau isteriku.”
“Apa kau tidak kasihan pada anak kita?”
“Belikan dia seragam yang paling bagus tapi bukan untuk sekolah.” Katanya lebih lembut
“Lalu untuk apa?” isterinya bingung
“Untuk mengembalakan kerbau, dia akan suka. Oh ya, tembakauku hamper habis jangan lupa.”

Ia menyambar kapaknya, nampaknya hendak ke hutan. Dari kejauhan, terlihat olehnya si olan anaknya yang baru berumur 6 tahun sedang becengkrama bersama beberapa kawannya di atas punggung kerbau. Hatinya kembali galau oleh percakapannya dengan isterinya, juga wajah orang-orang pintar kampungnya yang melintas di kepalanya, membuat bulu kuduknya bergidik jijik dalam kemuakan.
Ia tak habis pikir, dahulu ketika baru beberapa orang sekolah, orang-orang kampong tak membenci kepandaian mereka. Kini, saat hampr dirinya saja yang tak pernah sekolah kecuali anak-anak kecil itu, semua orang menganggapnya dungu dan bodoh.
“Apa untungnya bias baca dan tulis bias menghasilkan makan untuk anak dan isteri padahal aku mampu lakukan semua hal yang bisa mereka lakukan dan belum tentu mereka bisa lakukan apa yang bisa mereka lakukan se-ahli aku.” Gumamnya
Ranting-ranting kayu mulai dikumpulkannya, beberapa pohon kayu kering tumbang oleh kapak lalu dibelahnya. Binatang-binatang hutan kaget dan ketakutan akibat kegaduhan yang dibuatnya pada pagi itu, beberapa ekor burung berkelebat panic dari sebuah pohon dan dua ekor burung hantu menjerit-jerit marah seolah merasa terancam tapi tak diacuhkannya.
Bias-bias matahari pagi mulai menembus lubang-lubang langit di pepohonan. Badannya mulai basah oleh peluh sedangkan embun pagi belum lagi menguap dari urat-urat dedaunan yang berserakan di tanah. Kayu-kayu yang di kumpulkannya sudah menumpuk setinggi lutut, ia mulai lelah. Tapi ia tidak berhenti dari pekerjaannya, kini ia mencari rotan kecil buat pengikat. Jerit burung hantu mulai mengganggu telinganya, tapi ia hanya bisa mengumpat lalu kembali untukmengikat kayu-kayunya.
Tumpukan kayu itu baginya menjadi dua tempat, ranting pemikul yang cukup kuat sepanjang kedua depah tangannya diletakkannya sebagai antara lalu diikatnya kedua tumpukan itu pada masing-masing ujung pemikulnya. Ia sudah siap berangkat pulang, tapi urung.
“Mungkinkah anak-anak burung itu menjerit-jerit karena terjatuh ketanah? Ah … si olan mungkin suka punya burung hantu.”
Ia lalu mencari suara itu, berputar-putar sambil menyibak semak-belukar. Tak beberapa kemudian yang ditemukan bukannya anak burung hantu dengan sayap dan bulu-bulu coklatnya melainkan seseatu yang hitam seperti bayi, muka dan telapaknya kemerahan.
“Ai, bayi setan?” Ia terpekik bergetar lalu diperhatikannya lagi lebih dekat. Rupanya seekor bayi lutung yang ditinggal kawanannya. Dengan ragu-ragu ia meraihnya, ada kengerian kalau-kalu makhluk itu tiba-tiba saja menggigit tangannya. Tapi tidak, bayi lutung itu seperti acuh saja.
Pikulan kayu dihempaskannya didekat tangga dapur lalu bergegas menuju beranda rumah, isterinya menyambutnya dengan tatapan bertanya-tanya. Ia membuka sarung yang dikalungkannya di lehernya.
“Bayi monyet?” isterinya bertanya
Ia hanya mengangguk kebingungan tanpa suara. Isterinya cekikikan melihat tingkah suaminya dan lalu tersedak karena tawa yang ditahannya di leher sebab wajah suaminya terlihat gusar merasa ditertawakan.
“Si olan pasti senang, tapi bagaimana kita memeliharanya?” katanya mengembalikan suasana. Suaminya menggeleng lalu berkata sambil berlalu kalau ia hendak memanggil si olan. Tak beberapa lama kemudian si olan muncul bersama kawan-kawannya. Mula-mula tak ada yang berani terlalu dekat tapi lama-lama anak-anak itu bergantiaan mengelusnya.
“Ia minta susu!” kata seorang anak
“Bu, ia minta susu?” seru olan pada ibunnya
“Hah?” ayahnya kaget “
“Kasih saja susu kerbau,” kata ibunya dari dapur
Ayahnya kemudian bergegas menuju kawanan kerbau, hendak memerah susunya.
“Siapa namanya bu?” olan bertanya
“Panggil saja sarimin.” Kata ibunya yang teringat pementasan topeng monyet di pasar
Hari itu dunia kanak-kanak di kampung si olan gempar
“Si olan punya adik berwajah lutung, namanya sarimin.” Begitu kabar yang menggemparkan itu. Tetangga-tetangganya banyak yang datang, ada yang tersenyum di kulumada pula yang mengumpat dan mencibir. Ayah si olan seharian seperti orang linglung, ia kembali menjadi pusat perhatian dan bahan olok-olok orang kampung.
“Keluarga itu tak bisa membedakan manusia yang hidup di rumah dan lutung yang hidup di pepohonan, monyet dikasih susu kerbau, monyet pakai baju.” Begitu kata celaan yang keluar dari mulut orang-orang kampung sambil terbahak-bahak. Beberapa bulan telah lewat, keluarga itu mulai terbiasa dengan keberadaan monyet sarimin. Tapi ada yang berubah, ayah si olan kini lebih sering diam dan agak kurus. Isterinya terus-menerus dihantui rasa cemas melihat perubahan suaminya, karena itu ikut kurus. Sarimin si monyet kini lebih besar dan lebih kuat dan lebih sering bergantung di ketiak si olan sedangkan si olan juga agak kurus karena perhatiannya kini terbagi kepada kerbau dan monyetnya. Kian hari keluarga itu makin terkucil saja dari kehidupan kampunya. Selain karma tidak tahan oleh gunjingan juga karena semakin menarik diri dari pergaulan. Hanya ibu si olan saja yang tetap ke pasar untuk menjual dan membeli keperluan yang benar-benar dibutuhkan, kadang juga untuk memperoleh umpatan gratis.
“Si olan dengan kerbau-kerbaunya sudah kelas berapa?” atau
“Si olan dapat niali berapa hari ini dari gurunya si kerbau?” ia hanya menjawab bahwa jumlah kerbau si olan kini 6 ekor ditambah 4 anaknya yang masih menyusu.
Begitulah, keluarga itu sudah menjadi bahan olok-olok yang nikmat. Dijamin, bahkan oleh tukang cerita yang terburuk sekalipun akan sanggup membuat perut kerang sehingga saraf-saraf yang tegang setelah seharian berburu uang dalam persaingan bagaimanapun ketatnya akan kembali santai.
Pada suatu hari si olan mulai jenuh dengan seragamnya yang mulai lusuh, karma itu meminta dibelikan yang baru maka dibelikanlah ia pada keesokan harinya. Seragamnya yang lama kini dikenakan oleh sarimin si monyet. Beberapa hari kemudian, si olan mulai merajuk lagi, si sarimin ikut-ikutan. Ibunya hanya mengatakan kepadanya agar bersabar, bahwa ia akan bersekolah juga seperti yang lain bila sudah waktunya. Tetapi si olan malah merengek, ia merajuk sampai ayahnya tiba. Mata ayahnya merah oleh amarah melihat si olan dan si sarimin yang berseragam itu minta sekolah dan ia lebih marah lagi karena mendengar permintaan itu dari anaknya sendiri. Sekelebat ia meraih rotan lalu mencincang-cincang tubuh anaknya bagai kerasukan.
“Bahkan kau anakku sendiri, hendak menjadi bahagian dari mereka? Tidakkah kau lihat mata mereka menatap kita seperti kotoran, Hah? Kau anakku hendak minta sekolah lalu setelah berpendidikan maka kembali mengumpat kami yang tak tahu apa yang kau tahu? Kalianlah mengadakan kedunguan lalu meletakkan di wajahku sambil terbahak-bahak dengan telunjuk di hidungku! Aku tidak dungu, ibumu tidak bodoh, keluargaku bukan keluarga binatang!”
Disepaknya sarimin si monyet jauh-jauh, binatang itu menjerit kesakitan. Siolan berteriak-teriak ampun. Ia tenggelam dalam lautan pedih dan ketakutan melihat keberingasan ayahnya. Tubuhnya lunglai tak bertenaga, terhempas telentang ke lantai. Seragamnya sobek-sobek terkena sabetan rotan. Ibunya hanya bisa histeris sedari tadi, tak mampu melindungi si olan.
Ayahnya kemudian menyudut di pojok bertelekung lutut, dan menangis sejadi-jadinya. Amarah yang sekian lam di pendamnya, akhirnya tumpah pada anak yang ingin di jaganya dari yang menurutnya kejahatan sekolah. Beberapa tetangga yang mendengar keributan itu berseliuran di jalan, mengintai. Mereka mulai bergunjing lagi bahwa keluarga dungu itu mulai sakit gila.
Orang-orang di rumah itu di liputi nelangsa, sendiri merasai penderitaannya. Keadaan sunyi senyap, sudah malam. Lengang. Hanya sesekali terdengar suara sesengukan sariminlah yang pertama kali membuat gerakan dengan mengorek-ngorek tubuh si olan yang akhirnya siuman. Ia tersadar tengah terbaring di pangkuan ibunya, ayahnya tetap di sudut.
“Kerbauku belum kuantar pulang” katanya sambil merintih. Ayahnya mendengar itu lalu menyergapnya tiba-tiba dengan pelukan, tangisnya pecah lagi, ibunya juga.
“Maafkan ayah nak, ayah tak bermaksud menyakitimu”
“Tapi ayah mencambukiku sangat keras” oln protes
Ayahnya tak tahu harus mengatakan apa, ia memang tak bermaksud dan tidak pernah mau menyakiti anak yang dicintainya, tapi kenyataannya ia menyakitinya.
“Ayahnmu tidak sadar” kata ibunya, ayahnya mengangguk membenarkan tetapi anak-anak tak paham apa itu sadar dan tidak sadar. Ia terdiam sementara nafasnya masih tersengal sesengukan. Keesokan harinya matahari dating seolah tak terjadi apa-apa. Semua terlihat biasa saja kecuali luka di sekujur tubuh si olan.
Ibunya sudah pulang dari pasar mereka baru saja usai makan siang ketika disodorkannya sebuah seragam kepada sdi olan, seragam yang lama pun di tanggalkannya.
“Aku tak mau sekolah lagi, seragamnya kasih ke sarimin saja” tidak apa-apa kalau tidak mau sekolah, belajar tidak harus sekolah. Ibu bisa mengajarimu apa saja, bapakmu juga.”
“Bapak sama ibu jadi guruku?” katanya girang ibunya ngangguk
“Kalau begitu, aku dengan sarimin jadi muridnya”
Olan mulai riang lagi. Diceritakannya pada kawan-kawanya kalu ia pun akan segera sekolah, ibu dan bapaknya yang jadi gurunya. Kawan-kawannya yang masih berseragam sebab baru saja pulang dari sekolah terbahak-bahak mendengar itu.
“Ibumu jadi guru apa, bapakmu bisa mengajar apa?”
“Ibuku pandai membaca, menulis dan bernyanyi seperti guru yang kalian ceritakan, bapakku bisa mengajariku olahraga, olahraganya berenang, berburu, memanjat, menombak, lari, semua itu olah raga, bukan?”
“Tapi di sekolah kami bermain bola, kami punya seragam olah raga.” Kata seorang anak
“Aku dan sarimin bakal dibelikan, juga bola. Apa di sekolah kalian juga belajar berenang di sungai dan berburu di hutan?”
Anak-anak itu terdiam menggeleng.
“Kalau begitu, sekolahku nantinya lebih baik dari sekolah kalian. Kalian musti minta juga agar di ajari berenang dan berburu.”
Anak-anak itu mengangguk setuju.
Sejak hari itu kawan-kawan si olan lebih banyak mendengar cerita-cerita tentang sekolah barun si olan. Kadang ketika sedang bercengkrama dengan keluarga mereka masing-masing tak jarang mereka melontarkan pujian pada si olan yang disambut protes dari orang tua mereka.
Kini si olan benar-benar sudah berhenti menginginkan untuk sekolah bersama kawan-kawannya. Ia benar-benar menikmati kesibukan barunya itu. Pelajaran yang paling disukainya adalah berenang dan berburu. Ia kembali ke pakaian lamanya yang tanpa seragam bersama keriang-keriangannya, hanya si sarimin saja yang seolah sudah kepincut menjadi anak sekolahan, sebab seragam yang dikenakannya tak mau dilepaskannya sama sekali biar pun telah kumal dan kotor. Bila sesekali saat bermain si olan berusaha mengambil seragam itu sarimin akan marah.
Seperti itulah, kemana pun mereka pergi si sarimin tak pernah alpa dengan seragamnya. Si sarimin pulalah yang seolah-olah sedang mengusik kebanggaan orang-orang kampung pada sekolah. Dalam kepala mereka timbul pula kejengkelan pada keluarga si olan yang dungu itu, sebab menurut mereka ayah si olan sengaja mengolok-olok mereka dengan monyet berseragamnya beberapa kali orang-orang kampung melucuti pakaian si sarimin tapi monyet itu melakukan perlawanan sehingga selalau saja bisa menyelamatkan diri dan makin jengkellah mereka.
Ayah si olan, sekarang menjadi bisa lebih menahan diri tak pernah lagi ditanggapinya cacian orang-orang kampungnya, juga tentang protes mereka atas seragam si sarimin. Ia menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan-kegiatannya. Ia larut dalam semua kegiatan-kegiatan itu sehingga terlihat nampak keseriusannya dan melimpahlah hasil yang didapatkannya lebih dari yang diharapkannya.
Ia memilik semangat, yaitu semangat untuk menunjukkan kepada anak dan isterinya bahwa menjadi orang ‘dungu dan bodoh’ bukanlah sesuatu yang buruk. Lebih dari itu sedari kecil didadanya sudah terpatri semangat kegeraman terhadap pandangan orang-orang kampungnya yang picik dan kerdil.
“Sedikit-sedikit keadaan ini tak tertahan lagi olehku.” Katanya kepada isterinya pada suatu ketika.
“Aku ingin menyerah, aku tahu selama ini kalian menanggungkan penderitaan yang di alamtkan kepadaku.”
Isterinya hanya terdiam.
“Lumbung kita dipenuhi makanan, kerbau-kerbau si olan selalu bertambah sepanjang tahun. Tak akan pernah habis lalu membuat kita mati dalam kekurangan kecuali kita tak mampu menjaganya. Tetapi apa arti semua itu bila hati ini tak tentram.”
Isterinya tetap diam, ia juga diam. Kini hanya suara si olan dan sarimin saja yang memecah keheningan rumah itu, mereka bergulingan sambil cekikikan geli tertusuk rumput halaman.
“Lihatlah keceriahan anak itu, seperti tak menanggungkan apa-apa. Tetapi aku tahu ia mengetahui semuanya. Ia tahu kenapa kawannya yang paling akrab hanyalah si sarimin. Andai monyet itu tak ada, aku tak akan sanggup melihat kemurungan di wajahnya.”
“Ia sudah tak menginginkan sekolah bersama kawan-kawannya lagi.” Kata isterinya
“Ia mencintaiku. Aku pernah seperti dirinya, makanya aku tahu. Aku lebih memilih ayahku ketimbang keinginan mereka atasku untuk menjadi seperti mereka meskipun akhirnya ayah terenggut dariku.”
“Apa rencanamu?”
“Membuat orang-orang kampung berhenti membenci kita.”
“Sii olan boleh sekolah?“ Tanya isterinya
Suaminya hanya menggeleng.
“Sepanjang hidupku telah kuhabiskan membuat mereka tidak mengolok-olok kita dengan memperlihatkan bahwa kita sungguh tindak ‘bodoh dan dungu’ melalui apa yang kita punya. Tapi mereka tidak mengerti. Meskipun begitu, si olan tetap tidak boleh sekolah selama aku masih sanggup membuat kita mampu menahan diri dari kehidupan mereka.”
Beberapa hari kemudian, disuatu pagi ketika ia hendak berangkat kehutan mencari kayu, seseorang berseragam muncul dan memberitahukan agar semua orang kampung berkumpul dibalai desa. Awalnya ia urung hendak ikut. Tetapi isterinya membujuknya, maka ia pun berangkatlah. Di sana orang-orang kampung telah hadir di depan pak camat yang hampir mulai berpidato.
“Di kampung ini ada yang suka berbuka?” Tanya pak camat dalam pidatonya
“Ada Pak!!!” koor penduduk kampung sambil menunjuk ayah si olan dengan mata.
Ayah si olan mukanya merah padam.
“Kalau Penebang kayu?”
“Ada Pak!!! Ini orangnya, sedang bawa kampak.” Teriak salah seorang
Wajah Ayah si Olan semakin gelap saja.
“Akhir-akhir ini, daerah kita banyak dilanda bencana. Kalau bukan banjir, kekeringan. Betul tidak!”
“Betuuul!” koor hadirin lagi
“ Itu semua disebabkan oleh rusaknya lingkungan kita, yaitu habisnya pohon-pohon di hutan akibat penebangan liar seperti yang dilakukan oleh bapak ini. Selain kerusakan itu, satwa-satwa liar juga semakin punah oleh banyaknya perburuan liar.” Katanya sambil mengarahkan pandangannya kea rah ayah si Olan dengan maksud supaya kata-katanya dicamkan, tetapi, ekspresinya terlalu kelihatan sehingga membuat hadirin mentertawakan Ayah si Olan sebagai tanda setuju ditambah kejengkelan mereka terhadapnya.
Ayah si olan semakin merah padam, ia marah lalu berdiri, katanya:
“ Kalian orang-orang sekolahan, melihat kebodohan dan kedunguanku, aku mengenali kecerdikan kalian. Kecerdikan yang sama sejak ayahku dan nenek moyangku. Memang, saya hendak ke hutan hendak mengambil kayu bakar untuk dapur isteriku. Memang, saya sesekali berburu ke hutan untuk makanan anak dan isteriku. Kalian menanggungkan semua kerusakan itu atasku dan saya tidak bisa mengelak. Memang, kalian hebat dan pintar. Saya mengambil kayu dan berburu binatang, senjataku kapak dan tombak, tetapi kalian menggunakan mesin dan senapan. Saya hanya mampu mengambil sedikit dengan kapak kecilku ini, kalian mengambil semuanya. Saya mendapatkan satu ekor saja sudah bahagia dan merasa beruntung, kalian mendapatkan sepuluh belum juga puas malah merasa sial. Kalian memang hebat.” Katanya marah sambil menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan, tetapi para hadirin malah cengengesan meskipun dipaksakan.
“Pintar juga dia bicara.” Begitu bisik-bisik mereka
“Tenang! Tenang!” Pak camat menenangkan suasana
“Aku sudah tahu, ada di antara kalian yang tidak akan terima. Tetapi ini bukan tuduhan tak beralasan, banyak atau sedikit yang kalian ambil, tetap kalian adalah perusak. Karena itu kalian harus berhenti.” Katanya tegas
Ayah si olan sedang berpikir dengan apa isterinya akan memasak makanan bila ia berhenti mengambil kayu, ketika Pak Camat melanjutkan pidatonya lagi
“Perusakan hanya pekerjaan orang-orang bodoh dan tolol yang tak berpendidikan sehingga tak mampu berpikir bahwa semua itu tidak hanya merusak dirinya saja tetapi semua orang.” Hujat pak camat lantang
Kontan tawa pecah di seluruh ruangan itu mendengar kata-kata ‘bodoh dan tolol’ serta ‘tak berpendidikan’ dari pak camat, keriuhannya menghujam kehormatan ayah si olan, perasaan terhina yang telah dirasakannya sepanjang hidupnya kembali terluka.
“Dia memang tidak pernah sekolah Pak!” seru salah seseorang melampiaskan kekesalannya pada ayah si olan, disambut tawa hadirin. Pak camat manggut-manggut dengan senyum dikulum.
Ayah si Olan seperti tersengat kemarahannya yang membuncah, tanpa kesadaran lagi diayunkannya kapaknya ke arah orang itu sambil menghambur ke arahnya, buk! Orang itu tersungkur berlumuran darah sebab terkena lemparan tepat di kepalanya. Dengan cepat, Ayah si Olan meraih kampak itu lagi lalu mengejar Pak camat yang sedang panik dan binging menyaksikan peristiwa itu.
Bret!
Sabetan kapak yang keras itu menyobek pipi kanan pak camat hingga tembus ke sebelah kiri. Kapak itu masih hendak berayun ketika dua orang pengawal Pak Camat menangkapnya dari belakang lalu melumpuhkan Ayah si Olan.
Kejadiannya begitu cepat, hadirin yang tadinya tunggang-langgang kini mengerumuni mobil polisi yang hendak mengangkut Ayah si Olan itu. Umpatan dan cacian kembali mengiringinya.
…………………………..
Sebelas tahun berlalu sejak kejadian dib alai desa itu, gerbang rumah tahanan terbuka dan seseorang Dengan tubuh ringkih melangkah gontai, angina segar dihirupnya nikmat di sepanjang jalan menuju rumahnya, pulang.
“ Olan!” serunya di tangga rumah yang samar-samar mulai tak dikenalinya lagi.
Seorang perempuan, Ibu si Olan isterinya, muncul di pintu diikuti oleh seorang pria pula.
“Ah… aku kira rumah ini bukan rumahku lagi!” serunya senang.
Tapi wanita setengah baya itu tiba-tiba pingsan tak sadarkan diri.
Dari pria yang semula samar-samar dikiranya anaknya itu diketahuinya kalau perempuan yang dahulu isterinya itu bukanlah isterinya kini, sebab ia sudah bersuami lagi. Ia kaget, tetapi berusaha untuk tetap tenang. Jadinya, tak terlihat kegusaran sedikitpun. Ia sekarang lebih matang. Tetapi ketika diketahuinya bahwa si Olan, anaknya, tinggal di kota karena sedang bersekolah pada sebuah SMU ia mulai tak tenang. Wajahnya memerah lebam, lalu menitikkan air mata dan menangis.
Seekor monyet mendekat ke arahnya, bulu-bulunya ada yang sudah berwarna putih.Sarimin. Seragamnya sudah compang-camping, kumal dan bau karena tak terawat. Ia menjadi semakin sedih menyaksikan keadaan itu, semua telah berubah, tetapi di rasanya seperti baru kemarin. Perasaan hampa memenuhi hatinya lalu berkata:
“Tak ada alas an lagi padaku atas apapun jua.”
Sementara perempuan sudah asing baginya itu belum sadarkan diri, iapun meninggalkan rumah itu dengan membawa beberapa perkakas yang masih dikenalinya sebagai miliknya.
Ia berjalan hingga kelelahan menuju sebuah rumah sawah yang sudah mulai rapuh dan lapuk, sebuah gubuk yang berdiri di atas sebidang tanah yang dahulunya menjadi sumber nafkah bagi ia dan keluarganya. Dikibaskannya debu-debu ngengat yang menggerogoti balai-balainya, lalu merebahkan badannya di atasnya.
Dilihatnya kelam mulai menari-nari di ujung hari, berpesta bersama rona senja menyambut malam yang gulita. Dan dilihatnya pula, Bayang-bayang kenangan berlari ke arahnya mengarak kebusukan, di atas kepala-kepala yang kuatir, hendak menggerogoti jiwanya. sebentuk kerinduan akan semua masa-masa itu. Menyelinap di antara hati. Hati yang telah menjadi pengecut sebab renta oleh waktu. Tapi dengan sisa-sisa ketegaran masa mudanya, dihempaskannya jua godaan-godaan itu lalu bergumam sendiri:
“Oh, dunia! Bagaimana akan kau tebus semua yang telah kau renggut dariku? Karena bahkan seluruh milikmu tak akan kuanggap cukup untuk menyempurnakan hari-hariku yang mulai di telan getir, agar kembali kegairahanku, demi keceriaanmu?”
Sarimin tua tiba-tiba muncul dan duduk di sampingnya. Setidaknya tak akan ada yang mati dalam kesepian, kecuali salah satunya.

Boor,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar