Kedangkalan akalku tak mampu mencernamu Hanya saja aku tahu dirimu Ketajaman rasaku dapat mengenalmu Hingga kau tak asing bagiku Sering kali kau datang dengan wujud beda Sadar ataupun mimpi kaupun datang tanpa diminta Aku ingin kamu

Rabu, 08 April 2009

KIRIMI AKU KAMBOJA SAJA

Aku berada di antara kehidupan kotaku yang modern dan kehidupan di desa. Mereka sederhana dan bersahaja. Kadang di malam-malam gelap yang sunyi, aku masih bertanya, yang manakah kehidupan? Padahal akupun tahu, indraku seluruhnya menyampaikan kalau kaki, kepala, tangan, seluruh tubuhku lahir tatkala modernitas tengah menggrogoti seluruh sudut ke-kampung-an dan melatapnya hidup-hidup. Seluruhnya, pranata dan perkakas budayanya, tak kecuali agama. Aku lahir dalam jaman tunggang langsung sambil jungkir balik, aku tahu tapi yang manakah pegangan?
Awalnya aku berpijak pada satu tonggak yang kukira kokoh, tapi ternyata tunggangnya ia tak punya seperti untaian tentakel gurita, ia melambai mencari-cari dan menemukan sesuatu lalu mengatakan bahwa inilah yang patut dijadikan pegangan dan pada saat yang lain lagi merengkuh sesuatu yang lain dan menjadikannya pula pegangan yang lain ‘sesuatu’ yang digemgamnya itu, kadang ambigu, hingga kadang pula standar ganda tak dapat dihindarinya. Manusia macam apa yang membangun dan dibangunkan oleh keadaan macam ini?
Ada juga sesuatu yang lain, hamper semua orang menggenggaminya erat hingga hiduppun dikorbankan untuk itu. Bukan hanya hidupnya sendiri, melainkan hidup seluruh dunia bila perlu. Sekilas tampak mengejar keseimbangan dan memang itulah yang menjadi kesadaran mereka, tetapi bagiku tampak sebagai pelampiasan hasrat. Hasrat apa saja; keinginan, dendam, keormatan, ketiadaan… . menolak kejahatan dengan melakukan kejahatan adalah watak fatalis, watak fatalis tak berbeda sama sekali dengan kejahatan sendiri.
Aku lelah oleh paradoks umat manusia. Aku yakin, aku tak sendiri. Aku tahu bahkan filosof, teolog, ilmuwan, dan teoritikus, ulama dan rohaniawan,semua orang yang terus berfikir bergumul dengan hal ini pula sampai akhir hidupnya, juga para sufi dan nabi. Yesus mengutuk sebuah pohon ara karena tak mampu memberi satu buahpun untuk rasa laparnya, Muhammad mengharamkan babi untuk tubuh umatnya. Tapi semua itu tak bisa menjadialasan untuk berkata lanjutkan saja hidupmu tanpa soalan-soalan itu, kenyatannya semua manusia-manusia besarpun mempersoalkannya, kenyataan-kenyataan selalu muncul sebagai masalah. Maka saya tetap mempersoalkannya bahwa ada keadaan yang lebih baik dari kenyataan ini tapi kenapa ini yang kita adakn?
Kita berpengharapan terhadap suatu keadaan, termasuk utopi sebagai salah satu. Pengharapan itu, keinginan yang hadir tidak dengan serta-merta tanpa melalui proses sadar. Harapan itu, keinginan itu adalah keadaan yang pernah sangat dekat dengan kita, entah itu melalui bantuan panca indera atau bahkan pernah kita alami meski sesaat, pun halnya dengan utopi. Tetapi manusia terlanjur telah membuat pembeda, sekat, pembatas. Bukan hanya beberapa tapi sejumlah tak terhingga sehingga kita mesti berhati-hati terhadap watak fatalis bahwa di dunia ini hanya dirimilah yang boleh kau percayai, setiap manusia adalah rintangan-rintanganmu atas sesuatu yang terbatas sehingga harus dapat kau lenyapkan atau setidaknya kau manipulasi.
Semakin kompleks kehidupan ini semakin jauhlah kesadaran. Maka persaingan, kompetisi atas hidup adalah watak fatalis yang utama. Betapa tidak? Bahkan agamapun dimanipulasi atau bila tidak, dijadikan alat manipulasi atas kesadaran makhluk untuk memenangkan persaingan. Sepatutnyakah ? apalagi dengan objek-objek yang ? Betapa mahal kesadaran. Tapi betapapun mahalnya, untuk memperolehnya tak perlu merogoh kocek sekian juta seperti kesadaran manipulatif yang diperjual belikan oleh intitusi pendidikan, kau hanya harus setia dan konsisten pada kesadaran hidupmu yang pertama, kesadaran kemanusiaan.
Bahwa dalam kehidupan ini, semua makhluk berprose, tak ada subjek apalagi objek. Menjadi khalifah di atas muka bumi tidak berarti pengabsahan bagi manusia untuk menjadi subjek dan karena boleh menentukan pantas atau tidak pantasnya seekor nyawa dilenyapkan. Bahkan tuhan tidak mengambil posisi subjek dalam kehidupan kita, yang akan turut campur ketika kita hendak membantai seorang bocah dengan kelaparan atau menyarangkan sebutir peluru algojo di kepala seorang, atau tebasan pedang di leher musuh kita, atau ketika kita hendak melampiaskan hasrat seksual atau ketika memberi makan anak yatim, atau ketika hendak menyeberangkan seorang nenek di lalu lintas yang ramai, dan seterusnya. Sekali lagi, memang ia mengatakan jangan atau silahkan, tetapi ia memberi pilihan dan kesempatan.
Sekali lagi, tetaplah setia dan konsisten kepada para kesadaran yang pertama atas kehidupan, kesadaran kemanusiaan, bahwa kau hanyalah setitik debu di bumi ini, yang bila angina berhembus maka kaupun akan lenyap dan tempatmu tidak akan mengenalmu lagi. Bila masi tak bias kau rasakan jua kesadaran itu, cobalah sesekali mendaki gunung,. Seorang diri atau bersama kawa-kawanmu maka akan kau lihat sebesar apa dirimu dalam hamparan alam semesta atau bila tak sanggup, kecaplah kehidupan pedalaman yang murni maka kau akan lihat inilah manusia yang sungguh dan kesadaranmu pun tumbuh dan dipulihkan.
Kesadaran yang datang terlambat selalu hadir sebagai penyesalan, penyesalan yang akan dating selamanya melalui ratapan-ratapan, seperti diriku.

Boor,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar